Infokekinian.com – Khususnya masyarakat Jawa sudah tak asing lagi dengan nama-nama dan sejarah singkat wali songo yang merupakan penyebar agama islam di tanah jawa.
Perjuangan para wali ditulis dengan tinta emas. Mereka memulai gerakan budaya untuk menyebarkan Islam ke seluruh Jawa.
Akibatnya, mayoritas masyarakat Jawa kemudian menganut agama monoteistik ini. Perjalanan Islamisasi di pulau Jawa berjalan lancar berkat kebijaksanaan dan dakwah Wali Songo.
Metode dakwah menggunakan simbol-simbol budaya lokal seperti wayang dan gamelan. Generasi ulama selanjutnya akan meneruskan tradisi perpaduan budaya lokal dan Islam.
Wali songo adalah kelompok sembilan wali. Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kali Penjaga, dan Sunan Muria di antaranya.
Nama dan Sejarah Wali Songo
Berikut adalah nama serta sejarah dari wali songo:
Sunan Gresik: Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, juga dikenal sebagai Sunan Gresik, adalah seorang wali pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit.
Pada 1404 M, ia tiba di Gresik. Sekelompok kecil Muslim telah ditemukan di pantai Jawa pada saat itu.
Beberapa di antaranya adalah para saudagar yang menyebarkan agama Islam sekaligus juga berdagang, terbukti dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal di daerah Leran pada tahun 1082 M atau 475 H.
Islam belum berkembang pesat pada saat itu. Sejak Maulana Malik Ibrahim berdakwah di sana, Islam berkembang pesat di Gresik, menurut sejarah.
Tapi sudah ada raja Muslim di pulau Jawa Indonesia pada saat itu. Ratu Sima, raja, memiliki istana di Kalingga, di wilayah Jepara.
Sunan Gresik, juga dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim, memiliki beberapa nama. Maulana Maghreb adalah salah satunya, dinamakan demikian karena dia berasal dari wilayah Maghreb di Afrika Utara.
Namun, juga dikenal sebagai Maulana Gresik atau Sunan Gresik oleh beberapa orang. Sunan Gresik keturunan dari Ali Zainal Abidin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Karena penyebaran dakwahnya di wilayah Gresik, ia diberi nama Sunan Gresik. Maulana Malik Ibrahim tiba di Jawa bersama Raja Cermin dan anak-anaknya.
Hindustan diperintah oleh Raja Cermin. Menurut beberapa catatan, Sunan Gresik berasal dari Turki sebagai utusan misi Khalifah Kesultanan Utsmaniyah.
Dia telah melakukan perjalanan di Gujarat dan akrab dengan umat Hindu. Raja dan rakyatnya masih beragama Hindu atau Budha sebagai agama resmi kerajaan pada saat itu.
Bantal Kakek adalah Maulana Malik Ibrahim. Pembantu fakir miskin, serta ahli tata negara yang disegani para pangeran dan sultan.
Berbagai gelar tersebut mencerminkan besarnya perjuangannya bagi masyarakat Jawa. Ia juga terkenal karena pengetahuannya tentang pertanian dan kedokteran.
Sunan Giri memiliki ide mengalirkan air dari pegunungan untuk mengairi lahan pertanian sejak ia berada di Gresik, dan hasil pertanian masyarakat Gresik meningkat drastis sejak ia berada di sana.
Maulana Malik Ibrahim adalah pria yang baik dan penyayang. Maulana Maghribi sangat disukai oleh semua kalangan masyarakat, termasuk umat Islam dan Hindu.
Karena kepribadiannya yang mengagumkan, banyak orang yang rela berbondong-bondong masuk Islam dan menjadi pengikut setianya.
Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren di Gresik, yang digunakan untuk mempelajari Al-Qur’an, hadits, bahasa Arab, dan teks-teks Islam lainnya.
Inilah cikal bakal pesantren di Jawa. Ia menuai hasil yang sangat memuaskan dari pesantren pertama yang didirikan.
Pendeta lahir, dan mereka menyebar ke seluruh nusantara. Tradisi pesantren ini bertahan hingga saat ini. Pengikut Sunan Gresik semakin banyak, dan ia berniat mengislamkan Raja Majapahit.
Ini dia katakan kepada temannya, Raja Cermin. Raja Cermin ternyata punya niat yang sama untuk mengajak Prabu Brawijaya masuk Islam.
Alhasil, pada 1321 M, Raja Cermin tiba di Gresik bersama putrinya, Dewi Sari. Misi sang putri adalah untuk membimbing putri-putri istana Majapahit dalam belajar tentang Islam.
Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M (822 H). Ia dimakamkan di Desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah anak dari ayah kelahiran Samarqand, Syekh Ibrahim Asmarakandi. Samarqand merupakan wilayah besar yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang terkenal sebagai perawi hadits shahih.
Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra, seorang ulama besar, juga tinggal di Samarqand. Ibrahim adalah nama anaknya.
Syekh Ibrahim Asmarakandi diberi izin oleh ayahnya untuk berdakwah di negara-negara Asia. Dia berhasil mengubah Raja Campa dan rakyatnya masuk Islam.
Bahkan, raja Campa bertunangan dengan putri raja, Dewi Candra Wulan, saat itu. Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candra Wulan memiliki dua putra.
Raden Rahmat atau Sayid Ali Rahmatullah dan Raden Santri atau Sayid Ali Murtadho, dari pernikahan mereka.
Dewi Dwarawati, adik Dewi Candra Wulan, menikah dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Namun, Kerajaan Majapahit sedang dalam masa kemunduran akibat perang saudara pada saat itu. Akibatnya, Raja Brawijaya prihatin.
Kemudian Dewi Dwarawati melamar keponakannya, Sayid Ali Rahmatullah, yang tinggal di Campa. Karena dia ahli dalam mengatasi kemerosotan karakter.
Maka dikirimlah utusan dari Campa untuk mengundang Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit, yang disambut hangat oleh Raja Campa.
Sayid Ali Rahmatullah melakukan perjalanan ke Jawa bersama ayahnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi, dan adiknya, Sayid Ali Murtadho.
Ada yang mengaku tidak langsung ke Majapahit, melainkan mampir dulu di kawasan Tuban. Namun, selama di Tuban, ayahnya jatuh sakit dan meninggal.
Setelah ayahnya meninggal, Sayid Ali Murtadho melanjutkan dakwahnya di pulau Bali, Sumba, Sumbawa, dan Madura hingga tiba di Bima.
Sementara itu, Sayid Ali Rahmatullah melakukan perjalanan ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, Raja menyambutnya dengan gembira.
Di Surabaya, ia diberi sebidang tanah dan bangunan. Ia bertugas menanamkan akhlak mulia pada para bangsawan dan pangeran Majapahit.
Sayid Ali Rahmatullah berangkat ke Surabaya bernama Ampel Denta pada hari yang telah ditentukan.
Prabu Brawijaya memimpin 300 anggota keluarganya untuk mengikuti Sayid Ali Rahmatullah. Selama perjalanan, ia berdakwah untuk memperluas rombongan.
Ia membangun langgar sederhana di Kembang Kuning yang berjarak delapan kilometer dari Ampel. Ia dikenal sebagai Sunan Ampel karena berdakwah di dekat Ampel.
Sunan Ampel dikenal sebagai ayah Wali. Ia adalah sesepuh Wali Songo, seorang mufti atau petinggi agama Islam di Jawa.
Beberapa murid dan putranya bergabung dengan Wali Songo. Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga di antaranya.
Ajaran Sunan Ampel yang paling terkenal adalah filosofi Moh Limo. Artinya, menahan diri dari melakukan lima hal keji.
Moh play artinya “tidak mau berjudi”, moh ngombe artinya “tidak mau mabuk”, moh maling artinya “tidak mau mencuri”, moh madat artinya “tidak mau menghisap candu,” dan moh madon artinya tidak mau berzina.
Sunan Ampel terkenal sebagai da’i dan orator yang mampu memikat hati pendengarnya. Ajaran Sunan Ampel sangat penting bagi keturunannya.
Padahal beliau wafat pada tahun 1481 M bersama Candra Sengkala, ulama Ampel, dan masjid. Menurut legenda masyarakat, dia meninggal saat sujud di masjid. Namun, menurut legenda lain, ia meninggal pada tahun 1406 Jawa.
Sunan Bonang
Sunan Bonang, juga dikenal sebagai Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim, adalah seorang wali. Pada 1465, ia lahir di distrik Ampel Surabaya.
Ia ditugaskan untuk berdakwah di daerah Bonang, Tuban. Sunan Bonang dibesarkan dengan disiplin yang ketat oleh ayahnya sejak kecil. Sunan Ampel adalah nama ayahnya.
Sunan Bonang pernah mengalahkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya hanya dengan lagu-lagu gending Dharma dan Macapat.
Kebondanu dan anak buahnya merasa lemas dan tidak bisa bergerak setelah mendengar lagu tersebut.
Mereka kemudian menjadi pengikut Sunan Bonang setelah bertobat. Keajaiban Sunan Bonang, bagaimanapun, tidak terbatas pada gamelan dan gemanya.
Sunan Bonang adalah pendukung Kerajaan Islam Demak semasa hidupnya. Dia juga berkontribusi pada desain sendi tentara, peraturan muamalah, undang-undang, dan masjid Demak.
Dia mengambil keputusan untuk mengangkat Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.
Sunan Bonang menggunakan berbagai kitab untuk menyebarkan ajaran Islam. Ihya Ulumudin dari Al Ghazali dan Al Anthaki dari Dawud Al Anthaki adalah dua di antaranya.
Dia juga merujuk pada tulisan Abu Yazid Al Busthami dan Sheikh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunan Bonang mencakup tiga pilar agama: tasawuf, Usuludin, dan Fikih.
Sunan Bonang sering menggunakan kesenian rakyat dalam dakwahnya untuk menarik simpati masyarakat biasa, seperti seperangkat gamelan bonang, yang menghasilkan suara yang sangat merdu saat dipukul.
Ketika sunan sendiri memukul kendang, suaranya menyentuh hati para pendengarnya. Mereka kemudian turun ke masjid.
Kontribusinya terhadap sastra budaya termasuk dakwah melalui wayang dan ikut mendirikan masjid Demak.
Ia juga menyempurnakan instrumen gamelan seperti bonang, kenong, dan kempul. Suluk Wujil dan lagu Macapat diganti. Ajaran Sunan Bonang kini telah berubah menjadi sebuah himne yang disebut Tombo Ati.
Sunan Drajat
Drajat berasal dari kata Arab darajat, yang berarti martabat atau tingkat. Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel dari pernikahannya dengan Dewi Candrawati.
Sunan Drajat juga merupakan adik dari Sunan Bonang. Ia hidup sekitar tahun 1478 M pada masa Majapahit akhir.
Di antara Wali Songo, ia mungkin memiliki julukan paling banyak. Sunan Drajat dikenal sebagai Raden Qosim atau Kasim ketika masih muda.
Beberapa manuskrip kuno juga menyebutkan beberapa nama lainnya. Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifudin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munar hanyalah beberapa contoh.
“Paring sign marang kang kalunyon lan wuta; paring makanan marang kang kaliren; paring sandhang marang kang kawudan; paring payung marang kang kodanan,” adalah empat ajaran utama Sunan Drajat.
Yaitu, memberikan tongkat kepada orang buta, memberi makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, dan memberikan payung kepada orang-orang di musim hujan.
Sunan Drajat sangat peduli dengan rakyatnya. Dia sering berjalan di sekitar desa larut malam. Warga merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang konon merajalela setelah pembukaan hutan dalam cerita tersebut.
Ia berkeliling kampung usai salat Ashar, berdzikir dan mengingatkan warga untuk melaksanakan salat Maghrib.
Berhenti bekerja, dan jangan lupa berdoa, bujuknya. Ia juga mengobati dan menyembuhkan warga yang sakit dengan ramuan tradisional dan doa di lain waktu.
Sunan Drajat terkenal dengan kecerdasan dan kedermawanannya. Dia menurunkan ajaran untuk menjaga orang dari menyakiti satu sama lain, baik secara lisan maupun fisik.
Bapang den Simpangi, ana catur mungkur, katanya. Artinya, tidak mendengarkan orang yang menjelekkan orang lain dan menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain.
Kelembutan Sunan Drajat telah menginspirasinya untuk memperkenalkan Islam dengan menggunakan konsep dakwah bil hikmah, yang berarti bijaksana dan tanpa paksaan.
Sunan Drajat mengkomunikasikan dakwahnya dengan berbagai cara. Pertama, baik secara langsung di masjid atau secara melanggar.
Kedua, dengan melaksanakan pendidikan di pondok pesantren kemudian memberikan fatwa atau nasihat dalam pemecahan masalah.
Ketiga, dengan memanfaatkan kesenian tradisional. Ia juga mengkomunikasikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali paling populer di Jawa karena ia terkenal di kalangan penduduk setempat.
Bahkan sebagian orang Jawa menganggapnya sebagai guru besar pulau Jawa. Dia memiliki nama yang diberikan, Raden Sahid.
Tumenggung Wilwatika, Adipati Tuban, adalah ayah dari Raden Sahid. Tumenggung adalah keturunan Ranggalawe yang masuk Islam dan mengambil nama Raden Sahur.
Dewi Nawangrum adalah ibunda Raden Sahid. Raden Sahid belajar Islam sejak kecil di Tuban. Namun, Raden Sahid memberontak ketika melihat kondisi lingkungan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dia melihat banyak orang biasa yang tidak bahagia dengan kehidupan mereka. Sementara itu, para bangsawan Tuban hidup dalam kemewahan.
Para pemimpin agama yang diam tidak banyak bicara. Di sisi lain, para pejabat kadipaten juga memperlakukan rakyat jelata secara sewenang-wenang. Jantung Raden Sahid berdegup kencang karenanya.
Raden Sahid, pemuda itu, sangat dekat dengan teman-temannya. Dia tidak ragu-ragu; dia berbaur dengan orang banyak. Raden tidak tahan lagi melihat penderitaan kaum miskin pedesaan saat itu.
Akibatnya, dia sering mengambil makanan dari gudang kadipaten dan membagikannya kepada orang miskin di malam hari.
Perbuatan Raden Sahid secara bertahap terungkap kepada ayahnya. Raden kemudian diusir dari istana, dan dia akhirnya mengembara tanpa tujuan.
Raden Sahid tinggal di hutan Jatiwangi, di perbatasan Kudus dan Pati. Dia merampok orang kaya, yang pelit dengan orang miskin, di sana.
Hasilnya kemudian dibagikan kepada fakir miskin. Sunan Kalijaga tidak mendirikan pesantren dalam dakwahnya. Sebab, menurutnya, seluruh dunia adalah pesantren.
Sunan Kalijaga menggubah lagu ilir-ilir untuk berdakwah, menciptakan seni batik dengan motif lukisan burung, menggubah lagu macapat dan Dhandhanggula, dan diselaraskan dengan gong sekaten. Serta membuat wayang kulit untuk keperluan dakwah.
Meditasi dan sesajen bagi penganut agama lama sebenarnya digunakan sebagai sarana penyebaran Islam.
Alhasil, Sunan Kalijaga mempelopori peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Surakarta dan Yogyakarta dengan upacara Sekaten, Grebeg Maulud, Grebeg Besar, dan Grebeg Syawal.
Sunan Kudus
Ja’far Shodiq adalah nama Sunan Kudus. Beliau adalah seorang ulama besar yang menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Kudus Jawa Tengah.
Pada pertengahan abad ke-15 M atau 9 H, ia dilahirkan di Jipang Panolan, Blora dari seorang ayah bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung.
Terlepas dari namanya, Sunan Kudus bukan berasal dari Kudus, melainkan dari Demak. Ja’far Shodiq lahir di sana sebagai hasil pernikahan Sunan Ngudung dan Syarifah.
Ja’far Shodiq selalu ingin hidup mandiri dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan Islam. Sikap simpatik Sunan Kudus menarik orang-orang dari agama lain untuk mendengarkan khotbahnya.
Sunan sering membacakan Surah Al Baqarah, yang berarti sapi dalam bahasa Arab, untuk memikat pendengarnya.
Karena masyarakat Hindu mendominasi pada saat itu, bangunan-bangunan di sekitar Masjidil Haram didesain dengan gaya Hindu.
Kebiasaan dakwah Sunan Kudus yang unik adalah acara tari kendang yang merupakan kegiatan yang dinanti-nantikan selama bulan Ramadhan.
Sunan Kudus menabuh bedug dengan keras untuk memanggil jemaah ke masjid. Sunan mengumumkan hari pertama puasa setelah semua orang berkumpul.
Sunan Kudus dipuja masyarakat setempat sebagai sosok legendaris yang memiliki seribu satu kesaktian. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M (960 H). Ia dimakamkan di Kudus.
Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Dewi Sarah adalah ibunda Sunan Muria. Istri Sunan Muria adalah Dewi Sujinah, kakak perempuan Sunan Kudus.
Raden Umar Sahid adalah nama ayah Sunan Muria. Ia dikenal sebagai Sunan Muria karena di lingkungan Gunung Muria diliputi simbol-simbol Islam.
Kegigihan Sunan Muria dalam berdakwah tidak perlu diragukan lagi. Gaya dakwah modern yang diilhami Sunan Kalijaga menyusup ke berbagai tradisi Jawa.
Sunan, misalnya, tidak melarang kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dina hingga nyewu.
Bau gaib, seperti membakar dupa atau membuat persembahan sebagai ganti doa dan doa. Sunan Muria juga berdakwah melalui sharing kesenian Jawa.
Misalnya, menggubah lagu Macapat, Sinom, dan Kinanti, yang masih digunakan sampai sekarang. Ia mengajak masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam melalui lagu-lagu tersebut.
Sunan Muria lebih suka berdakwah kepada orang banyak daripada kaum bangsawan. Wilayah dakwahnya luas dan tersebar.
Dari lereng Gunung Muria, melewati daerah terpencil Pati, Kudus, dan Juwana hingga pantai utara.
Sunan Gunung Jati
Sarif Hidayatullah adalah nama asli Sunan Gunung Jadi. Syarif Hidayatullah adalah orang Mesir. Ibu Sunan Gunung Jati adalah Rara Santang, putri Prabu Siliwangi, yang kemudian menikah dengan Raja Mesir bernama Syarif Abdullah.
Syarif Abdullah meninggal saat Syarif Hidayatullah berusia 21 tahun. Syarif Hidayatullah akan dilantik sebagai Raja Mesir berikutnya. Namun, dia menolak.
Syarif Hidayatullah memilih berdakwah di Jawa, tempat kelahiran ibunya. Syarif Hidayatullah sering berguru kepada ulama Mesir selama di Mesir, sehingga ia tidak canggung lagi ketika harus berdakwah di Jawa.
Syarif Hidayatullah melanjutkan perguruan tinggi agama yang didirikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati, Jawa. Itulah sebabnya ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Pangeran Cakrabuwana, Dewi Pakungwati. Pangeran Cakrabuwana wafat dan mewariskan tahta Caruban Larang kepada menantunya, Sunan Gunung Jati.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah anak dari seorang ayah, Maulana Ishak, yang berasal dari Pasai. Dan ibunya adalah Dewi Sekardaru, putri Raja Blambangan Menak Sembayu.
Sunan Giri diberi nama Raden Paku oleh ayahnya saat hendak meninggalkan Blambangan saat istrinya sedang hamil tujuh bulan.
Ayah Dewi Sekardaru, raja Blambangan, memerintahkan bayi itu ditaruh di peti mati dan kemudian hanyut di laut atas permintaan gubernur.
Bayi itu akhirnya ditemukan oleh sekelompok kapal pesiar yang kapalnya tersumbat karena peti yang menopang kapal.
Angkat dan buka dada. Seluruh awak kapal terkejut. Mereka menemukan bayi kecil yang lucu di dalam peti.
Awak kapal kemudian menyerahkan bayi itu kepada majikan mereka, Nyai Ageng Pinatih, mantan istri Patih kerajaan Blambangan.
Dan dia mengadopsi bayi itu sebagai putranya. Singkat cerita, anak tersebut diserahkan kepada Sunan Ampel untuk dididik saat berusia 12 tahun.
Raden Paku yang awalnya seorang saudagar yang membantu ibunya meninggalkan dunia perdagangan setelah menikah dan fokus pada syiar Islam.
Kemudian dia berdoa selama 50 hari 40 malam di sebuah gua di Kebomas dan Kebomas, Kabupaten Gresik. Saat itu, ia teringat pesan ayahnya untuk mendirikan pesantren di atas tanah yang diwarisinya.
Setelah berdoa, ia mencari lokasi, dan Raden Paku akhirnya menemukan tanah di Desa Sidomukti, tepatnya daerah perbukitan.
Kemudian ia mendirikan pesantren di sana. Pesantren Giri dinamai berdasarkan lokasinya di pegunungan, dan karena itu Raden Paku berganti nama menjadi Sunan Giri.
Sunan Giri adalah pakar konstitusi dan politik. Ia telah menyusun peraturan dan undang-undang perpajakan kerajaan Demak. Sebagai referensi, berbagai sudut pandang atau saran digunakan.
Sumbangan dan perjuangan Sunan Giri yang paling penting adalah Islamisasi masyarakat Jawa Timur. Tak terhitung banyaknya orang yang menjadi Muslim karena bimbingannya.
Kesimpulan
Itulah sedikit informasi mengenai nama-nama dan sejarah singkat wali songoyang sangat berjasa dalam pengislaman di tanah Jawa.
Demikianlah artikel mengenai Nama-Nama dan Sejarah Singkat Wali Songo dan jangan lupa untuk terus kunjungi website Infokekinian.
Karena kami juga memiliki banyak informasi dan rekomendasi lain yang tentunya akan bermanfaat dan membantu sobat kekinian.